KEMENTERIAN Kelautan dan Perikanan sudah melatih lebih dari 15.500 nelayan untuk mendapat sertifikat yang diakui secara internasional. Salah satu program pelatihan nelayan dilakukan di Kapal Motor Marlin yang sering berlabuh di Pelabuhan Banyuwangi, Jawa Timur.
“Kalau ada yang mengatakan bahwa nelayan, anak buah kapal atau ABK Indonesia kualitasnya rendah, itu tidak benar. Saya berani memastikan bahwa nelayan kita banyak yang sudah besertifi kat dan mereka memiliki keahlian,” ungkap Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Suseno Sukoyono, di Kotabaru, Kalimantan Selatan, kemarin.
Pada peringatan Hari Nusantara 2014 di Kotabaru, kementerian juga melatih 40 nelayan di daerah itu. Mereka dilatih pada 8-13 Desember di atas KM Marlin. Kapal tersebut, jika tidak digunakan untuk tempat pelatihan, dioperasikan untuk menangkap ikan. Di kapal itu tersedia sejumlah perlengkapan modern, misalnya alat pancing ikan panjang serta mesin pendingin agar hasil tangkapan beku dan segar.
Bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan, ungkap Suseno, adanya pelatihan reguler itu sangat penting dalam upaya meningkatkan keahlian dan profesionalisme nelayan dan anak buah kapal sehingga mereka mampu bersaing di tingkat internasional.
“Pelatihan dan sertifi kat yang diakui organisasi maritim internasional sangat penting karena tahun depan kita menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN,” tandasnya. Saat ini, jumlah nelayan di Indonesia mencapai 2 jutaan orang. Untuk melatih mereka dibutuhkan kerja sama dari pemerintah daerah dan swasta.
Direktur Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo, Jawa Timur, Endang Suhaedy menambahkan nelayan mendapat pelatihan mulai cara menangani ikan pascapenangkapan hingga menjaga ikan agar tetap higienis. “Nelayan tradisonal acap kali tidak memedulikan kebersihan ikan sehingga saat diekspor nilainya jatuh, bahkan tidak laku.”
Ada juga nelayan yang sering kali masih memperlakukan ikan dengan cara tidak benar, seperti ikan tuna diseret saat hendak dibawa ke lemari pendingin. Akibatnya, tubuh ikan menjadi luka atau cacat.
Nelayan selama ini masih belum mengetahui cara yang benar memotong tubuh ikan dengan baik dan benar sehingga hasil potongan tidak sesuai standar internasional. “Karena ketidaktahuan itu, harga ikan hasil tangkapan jatuh di pasaran karena ikan tak diperlakukan dengan baik. Padahal, untuk pasar ekspor, terutama Jepang, mereka menginginkan kualitas yang tinggi,” kata Endang.
Selain itu, nelayan sering kali mengabaikan kebersihan kapal dan perlengkapan nelayan, seperti pakaian dan sepatu. Endang mengatakan ada standar internasional yang mensyaratkan kapal harus dalam keadaan bersih dan tidak terlalu bau. (DY/KH/ Ant/N-3) Media Indonesia, 23/12/2014 halaman 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar